PRAMUKA di UJUNG SENJA
(Semuanya
akan menghilang)
Oleh
: Robbi Nurhidayah
Naskah
Monolog
Dimulai dengan menyanyikan sebuah lagu pramuka.
Dari sebuah bilik kecil yang gelap, terdengar
samar-samar derap langkah sepatu pantofel, seketika derap langkah itu
menghilang seolah ditelan sunyi dan berganti menjadi suara tegas seorang pria
yang sedang merapikan barisan anak didiknya. Lalu terdengar kembali suara derap
langkah yang semakin lama semakin keras terdengar, lalu seorang pria dewasa
masuk di sebuah kamar yang gelap, pria
dewasa itu masuk sambil memperkenalkan dirinya.
“saya Andika Wiyana”
sambil dihidupkannya lampu pijar yang cahayanya temaram.
“saya
sudah lama menjadi seorang pramuka”
sekita lampu menjadi lebih terang, dan terlihat jelaslah
sosok pria tersebut. Lalu ia berjalan ke arah lemari tuanya dan diambilnya kacu
dan peci, ia melangkah ke arah sebuah cermin yang dicermin itu tergantung
sebuah baju pramuka kusut, lalu pria dewasa itu mengenakan baju pramuka kusut
itu, lalu ia bercermin sambil memasang kacu nya kemuadian menggunakan pecinya,
menggambarkan sosok Pembina pramuka yang mengayomi anak didiknya penuh dengan
kasih sayang.
“tetapi saya bingung dengan Pramuka
sekarang, saya mendidik mentalnya menjadi tangguh tapi lambat laun pasti ini
Pramuka akan tenggelam bersama senja”
Pria dewasa itu sudah selesai merapikan bajunya,
lalu dia berjalan ke arah tempat tidurnya dan diambil nya sebuah album
kenangannya semasa dia pramuka dulu, dia melihatnya sambil tersenyum sinis.
“sungguh
berbeda, jamanku pramuka sebagai peserta didik dengan jaman sekarang. Dulu aku
dicaci dan ditendang, mau makan aku
harus jalan jongkok, dan habis makan aku lompat kodok, tetapi itu dulu,
sekarang aku dibungkam oleh undang-undang, hengh”.
Terdengar suara pintu diketuk,
“siapa”
orang itu tidak menjawab, ditanya lagi
“siapa”
orang itu
masih tetap bungkam.
“jalan
jongkok, hengh, ( tertawa sinis )”
pria itu meragakan jalan jongkok, sambil berucap
“pramuka
itu, Takwa kepada tuhan yang Maha Esa , Cinta Alam dan kasih sayang sesama
manusia , Patriot yang sopan dan ksatria , Patuh dan suka bermusyawarah , Rela
menolong dan tabah , Rajin terampil dan gembira , Hemat cermat dan bersahaja ,
Disiplin berani dan setia , Bertanggup jawab dan dapat dipercaya , Suci dalam
pikiran perkataan dan perbuatan”.
Lalu pria itu terduduk sambil meluruskan kakinya
yang sakit akibat jalan jongkok,
“sayang,
sakit kaki ini berujung sia-sia, saya ajarkan mereka dengan cara lemah lembut,
tapi mereka malah mencaci dan menghina saya, kamu ini pembina bodoh, Pembina
tolol, tidak punya marwah. Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang ada dalam
pikiran saya untuk menjaga pramuka ini
tetap hidup, ya.. jaman memang sudah berbeda”
pria dewasa itu berjalan menuju sebuah meja berhiaskan lilin dan bunga, lalu ia
duduk di sebuah bangku sambil dilihatnya kembali album kenangan itu.
“jaman
memang sudah berbeda, pramuka sekarang pramuka gila !!!”.
seketika keadaan menjadi hening
“pramuka
yang satu dengan pramuka yang lain berbeda, sangatlah berbeda !!!, jadi, kita
tidak bisa menyamakan cara mendidik mereka. Aku sudah lelah menabur benih-benih
cinta tanah air kepada mereka, aku lelah !!!. Sampai-sampai yang kutuai adalah,
kebobrokan kualitas generasi bangsa, generasi mental tempe, !!! . Apakah aku
sebagai Pembina tidak bermutu ??? atau, mereka sudah terbiasa dengan
budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia ?? Kacau kalau begitu. Pramuka itu
tidak seperti itu, pramuka bukan hanya berbicara soal seragam cokelat dengan
baret dan kacu, tetapi Pramuka itu dirimu !!!, ya… Pramuka itu dirimu !!!.
Pramuka bukan hanya berbicara tentang organisasi, pramuka juga bisa berbicara
tentang individu, jika satu di antara 3 pemuda pemudi Indonesia berhasil
menjadi seorang Pramuka yang benar-benar pramuka, bayangkan, betapa hebatnya
generasi muda kita yang dididik melalui Pramuka ???, Pramuka bisa menjadi garda
terdepan menyelamatkan NKRI, bukan dengan senjata atau bom atom, tetapi dengan 3 janji yang ditepati dan
10 perbuatan yang dilaksanakan !!!!! TRI SATYA dan DASA DHARMA”.
Pria dewasa itu beranjak dari meja dan kursi itu,
berjalan mengarah kesebuah jendela yang mengarah ke luar.
“
lihatlah, pramuka sekarang, pramuka yang sudah menganut modernisasi, Pramuka
hanya sebagai ajang gaya dan mencari alasan untuk tidak membantu orang tua di
rumah”.
Pria itu beranjak dari jendela itu dan kembali
melihat album kenangan itu
“Pramuka
di ujung senja”
suasana senyap seolah ditelanjangi sunyi, tiba-tiba
terdengar suara pintu diketuk keras sebanyak 3 kali.
“
siapa itu, masuklah, aku tidak akan marah padamu, masuk”
tetapi orang yang mengetuk pintu itu tetap diam dan
hanya diam.
“SIAPA
ITU, MASUKLAH, AKU TIDAK AKAN MARAH PADAMU, JANGAN MEMBUATKU MARAH !!!”
pria itu naik darah, sehingga berbicara membentak,
lalu terdengar suara seorang anak yang menangis sendu.
“siapa
itu, jangan menangis kencang, nanti orang lain dengar, aku bisa dikira mencelakakanmu”
anak itu
tertawa, terbahak-bahak, seolah menertawakan pria itu.
“
hey, kenapa kau tertawa, aku tidak sedang bercanda, PERGILAH !!!”.
Kembali pria dewasa itu membentak anak tersebut,
anak kecil itu pun kembali menangis lebih kencang.
“beginilah
anak Pramuka sekarang, cengeng !!!. bagaimana bisa Pramuka menjadi garda
terdepan menyelamatkan NKRI, kalau generasi Pramuka kian hari kian cengeng !!!,
ahh, itu hanya ada dalam hayalan kami saja, yang terpenting sekarang kami bisa
makan”.
Lampu di kamar tersebut kembali temaram
“Pramuka
di Ujung Senja”
keadaan menjadi senyap, sepi
“kuletakkan
kacu dan baretku di atas sebuah batu, kutanggalkan seragam cokelat ini di atas
sebuah ranting, kekecewaan dan harapan kini menjadi satu, meredam segala
cita-cita dan angan”.
Cahaya perlahan-lahan menghilang dan hanya
menyisakan sebagian pada badan pria dewasa itu.
“biar
saja tubuhku ini terkulai, biar saja ususku ini terburai, biar saja kepalaku
terpenggal, dagingku menghilang. Ragaku kini sudah tidak nyata lagi di dunia,
namun ucapanku padamu akan selalu terngiang, ragaku kini sudah tidak nyata lagi
di dunia, tetapi semasa hidupku aku bukan hanya sekedar Pembina bagimu karena
aku juga sahabatmu. Biar saja !!!, aku kini sudah tidak perduli, usah lah kau
teruskan perjuanganku yang sia-sia karenamu, kejar mimpimu yang nisbi itu,
kejar imajinasimu yang liar itu. Agar kau merasa kau yang terhebat di antara
gugusan bintang-bintang, sampai kau menyadari betapa konyolnya dirimu, BODOH
!!!. aku lelah menaburkan biji-biji cinta kepadamu, aku lelah, sampai aku harus
menuai apa yang seharusnya tidak aku tuai. Pramuka kini sudah di ujung senja,
butuh waktu yang sangat lama untuk menaikkannya ke atas fajar, biarlah, aku
sudah tidak perduli, sekarang tinggal kau nikmati kebodohanmu itu.”
Semua cahaya menghilang, meninggalkan pria dewasa
yang malang dengan jutaan harapan akan melihat sinar lagi.
Naskah Monolog ini saya dedikasikan untuk, Kak
Andika Wiyana yang sudah pergi meninggalkan cahaya untuk selamanya.
Dalam Kamar Sepi
25 Maret 2017
Robbi Nurhidayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar