Minggu, 26 Maret 2017

Pramuka di Ujung Senja

PRAMUKA di UJUNG SENJA
(Semuanya akan menghilang)
Oleh : Robbi Nurhidayah
Naskah Monolog

Dimulai dengan menyanyikan sebuah lagu pramuka.
Dari sebuah bilik kecil yang gelap, terdengar samar-samar derap langkah sepatu pantofel, seketika derap langkah itu menghilang seolah ditelan sunyi dan berganti menjadi suara tegas seorang pria yang sedang merapikan barisan anak didiknya. Lalu terdengar kembali suara derap langkah yang semakin lama semakin keras terdengar, lalu seorang pria dewasa masuk  di sebuah kamar yang gelap, pria dewasa itu masuk sambil memperkenalkan dirinya.
 “saya Andika Wiyana”
sambil dihidupkannya lampu pijar yang cahayanya temaram.
“saya sudah lama menjadi seorang pramuka”
sekita lampu menjadi lebih terang, dan terlihat jelaslah sosok pria tersebut. Lalu ia berjalan ke arah lemari tuanya dan diambilnya kacu dan peci, ia melangkah ke arah sebuah cermin yang dicermin itu tergantung sebuah baju pramuka kusut, lalu pria dewasa itu mengenakan baju pramuka kusut itu, lalu ia bercermin sambil memasang kacu nya kemuadian menggunakan pecinya, menggambarkan sosok Pembina pramuka yang mengayomi anak didiknya penuh dengan kasih sayang.
 “tetapi saya bingung dengan Pramuka sekarang, saya mendidik mentalnya menjadi tangguh tapi lambat laun pasti ini Pramuka akan tenggelam bersama senja”
Pria dewasa itu sudah selesai merapikan bajunya, lalu dia berjalan ke arah tempat tidurnya dan diambil nya sebuah album kenangannya semasa dia pramuka dulu, dia melihatnya sambil tersenyum sinis.
“sungguh berbeda, jamanku pramuka sebagai peserta didik dengan jaman sekarang. Dulu aku dicaci dan ditendang,  mau makan aku harus jalan jongkok, dan habis makan aku lompat kodok, tetapi itu dulu, sekarang aku dibungkam oleh undang-undang, hengh”.
Terdengar suara pintu diketuk,
“siapa”
orang itu tidak menjawab, ditanya lagi
“siapa”
 orang itu masih tetap bungkam.

“jalan jongkok, hengh, ( tertawa sinis )”
pria itu meragakan jalan jongkok, sambil berucap
“pramuka itu, Takwa kepada tuhan yang Maha Esa , Cinta Alam dan kasih sayang sesama manusia , Patriot yang sopan dan ksatria , Patuh dan suka bermusyawarah , Rela menolong dan tabah , Rajin terampil dan gembira , Hemat cermat dan bersahaja , Disiplin berani dan setia , Bertanggup jawab dan dapat dipercaya , Suci dalam pikiran perkataan dan perbuatan”.
Lalu pria itu terduduk sambil meluruskan kakinya yang sakit akibat jalan jongkok,
“sayang, sakit kaki ini berujung sia-sia, saya ajarkan mereka dengan cara lemah lembut, tapi mereka malah mencaci dan menghina saya, kamu ini pembina bodoh, Pembina tolol, tidak punya marwah. Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang ada dalam pikiran saya  untuk menjaga pramuka ini tetap hidup, ya.. jaman memang sudah berbeda”
pria dewasa itu berjalan menuju sebuah  meja berhiaskan lilin dan bunga, lalu ia duduk di sebuah bangku sambil dilihatnya kembali album kenangan itu.
“jaman memang sudah berbeda, pramuka sekarang pramuka gila !!!”.
seketika keadaan menjadi hening
“pramuka yang satu dengan pramuka yang lain berbeda, sangatlah berbeda !!!, jadi, kita tidak bisa menyamakan cara mendidik mereka. Aku sudah lelah menabur benih-benih cinta tanah air kepada mereka, aku lelah !!!. Sampai-sampai yang kutuai adalah, kebobrokan kualitas generasi bangsa, generasi mental tempe, !!! . Apakah aku sebagai Pembina tidak bermutu ??? atau, mereka sudah terbiasa dengan budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia ?? Kacau kalau begitu. Pramuka itu tidak seperti itu, pramuka bukan hanya berbicara soal seragam cokelat dengan baret dan kacu, tetapi Pramuka itu dirimu !!!, ya… Pramuka itu dirimu !!!. Pramuka bukan hanya berbicara tentang organisasi, pramuka juga bisa berbicara tentang individu, jika satu di antara 3 pemuda pemudi Indonesia berhasil menjadi seorang Pramuka yang benar-benar pramuka, bayangkan, betapa hebatnya generasi muda kita yang dididik melalui Pramuka ???, Pramuka bisa menjadi garda terdepan menyelamatkan NKRI, bukan dengan senjata atau bom atom, tetapi dengan 3 janji yang ditepati dan 10 perbuatan yang dilaksanakan !!!!! TRI SATYA dan DASA DHARMA”. 
Pria dewasa itu beranjak dari meja dan kursi itu, berjalan mengarah kesebuah jendela yang mengarah ke luar.
“ lihatlah, pramuka sekarang, pramuka yang sudah menganut modernisasi, Pramuka hanya sebagai ajang gaya dan mencari alasan untuk tidak membantu orang tua di rumah”.
Pria itu beranjak dari jendela itu dan kembali melihat album kenangan itu
“Pramuka di ujung senja”
suasana senyap seolah ditelanjangi sunyi, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk keras sebanyak 3 kali.
“ siapa itu, masuklah, aku tidak akan marah padamu, masuk”
tetapi orang yang mengetuk pintu itu tetap diam dan hanya diam.
“SIAPA ITU, MASUKLAH, AKU TIDAK AKAN MARAH PADAMU, JANGAN MEMBUATKU MARAH !!!”
pria itu naik darah, sehingga berbicara membentak, lalu terdengar suara seorang anak yang menangis sendu.
“siapa itu, jangan menangis kencang, nanti orang lain dengar, aku bisa dikira  mencelakakanmu”
 anak itu tertawa, terbahak-bahak, seolah menertawakan pria itu.
“ hey, kenapa kau tertawa, aku tidak sedang bercanda, PERGILAH !!!”.
Kembali pria dewasa itu membentak anak tersebut, anak kecil itu pun kembali menangis lebih kencang.
“beginilah anak Pramuka sekarang, cengeng !!!. bagaimana bisa Pramuka menjadi garda terdepan menyelamatkan NKRI, kalau generasi Pramuka kian hari kian cengeng !!!, ahh, itu hanya ada dalam hayalan kami saja, yang terpenting sekarang kami bisa makan”.
Lampu di kamar tersebut kembali temaram
“Pramuka di Ujung Senja”
keadaan menjadi senyap, sepi
“kuletakkan kacu dan baretku di atas sebuah batu, kutanggalkan seragam cokelat ini di atas sebuah ranting, kekecewaan dan harapan kini menjadi satu, meredam segala cita-cita dan angan”.
Cahaya perlahan-lahan menghilang dan hanya menyisakan sebagian pada badan pria dewasa itu.
“biar saja tubuhku ini terkulai, biar saja ususku ini terburai, biar saja kepalaku terpenggal, dagingku menghilang. Ragaku kini sudah tidak nyata lagi di dunia, namun ucapanku padamu akan selalu terngiang, ragaku kini sudah tidak nyata lagi di dunia, tetapi semasa hidupku aku bukan hanya sekedar Pembina bagimu karena aku juga sahabatmu. Biar saja !!!, aku kini sudah tidak perduli, usah lah kau teruskan perjuanganku yang sia-sia karenamu, kejar mimpimu yang nisbi itu, kejar imajinasimu yang liar itu. Agar kau merasa kau yang terhebat di antara gugusan bintang-bintang, sampai kau menyadari betapa konyolnya dirimu, BODOH !!!. aku lelah menaburkan biji-biji cinta kepadamu, aku lelah, sampai aku harus menuai apa yang seharusnya tidak aku tuai. Pramuka kini sudah di ujung senja, butuh waktu yang sangat lama untuk menaikkannya ke atas fajar, biarlah, aku sudah tidak perduli, sekarang tinggal kau nikmati kebodohanmu itu.”

Semua cahaya menghilang, meninggalkan pria dewasa yang malang dengan jutaan harapan akan melihat sinar lagi.

Naskah Monolog ini saya dedikasikan untuk, Kak Andika Wiyana yang sudah pergi meninggalkan cahaya untuk selamanya.


Dalam Kamar Sepi
25 Maret 2017

Robbi Nurhidayah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Music

Cari Blog Ini

Blogger templates

Pages